Sejarah Kesenian Sampyong, Seni Duel Ala Indramayu
Jika menanyakan tentang kesenian Indonesia yang satu ini kepada generasi muda, pasti jawaban mereka adalah tidak tahu. Kesenian ini memang cukup lama tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia karena banyak sekali budaya luar yang masuk kedalam Tanah Air. Sampyong merupakan permainan tradisional adu ketangkasan dan kekuatan memukul atau dipukul lawan, dengan menggunakan alat yang terbuat dari rotan yang berukuran 60 cm. Nama lain dari Sampyong adalah Ujungan. Sampyong adalah budaya khas dari daerah Indramayu, Cirebon, dan Majalengka dan sering dimainkan saat musim panen usai.
Pada era dinasti Yuan yang sedang merosot, banyak terjadi konflik di Tiongkok, dan pada saat itu kaisar Zhu di Istana Beiping (Beijing) mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang pernah singgah di kepulauan nusantara selama 7 kali.
Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Sampai saat ini lonceng tersebut masih tersimpan di museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjunginya adalah Palembang dan Bangka. Selanjutnya mampir di pelabuhan Bintang Mas (kini bernama Tanjung Priok), Pada tahun 1415 mendarat di Junti Indramayu. Ketika menyusuri laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Junti. Mereka tinggal membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Ki Dampo Awang atau Sam Po Toa Lang.
Ki Dampu Awang terkenal sebagai orang yang sakti dan kuat, dengan kesaktiannya Ki Dampu Awang bisa mengalahkan para bajak laut di Lautan Pantura Jawa. Menurut kekandaan, lambat laun ketenaran dan kesaktian Ki Dampu Awang terdengar oleh Ki Ageng Tugu seorang tokoh sakti mandraguna dari bumi Dermayu.
Mendengar kesaktian Ki Dampu Awang yang terkenal, Ki Ageng Tugu ingin mencoba dan membuktikan kesaktian yang dimiliki oleh Ki Dampu Awang. Singkat cerita, Ki Dampu Awang dan Ki Ageng Tugu akhirnya dipertemukan. Untuk membuktikan siapa jawara diantara keduanya, digunakanlah "Ujung Penjalin" (sebilah rotan dengan pancang kira-kira 60-70 cm). Inilah cikal bakal tradisi sampyong di desa Tugu, Kecamatan Sliyeg, Indramayu. Karena menggunakan ujung penjalin kesenian sampyong juga dengan nama lain ujungan.
Dalam tatar kesampyongan dikenal dua aliran yang memiliki kekhasan masing-masing, dua aliran sampyong tersebut, ada Dermayu Wetanan dan Dermayu Kulonan. Wilayah yang terkenal pada aliran Dermayu Kulonan, seperti Suket Bajul & Manggungan. Di wilayah aliran wetanan yang dikenal adalah gaya sampyong khas Tugu. Ada gaya jogedan yang dikenal oleh para praktisi jawara sampyong yakni "Tangane Malangkerik, sikile digoleng ngangkat, ujunge dipikul". Ujung/rotan (nama alat pukul tradisi sampyong).
sing dipikul dipun sebut UJUNG. Sikile digoleng ngangkat. GOLENG sebutan lamun GARET (wasit) penjaline di garetna ning tanah, tanda sampyong dimule. Malangkerik, metantang-metenteng niku wujud perlambang satria gertak lawane. (Tangan berkacak pinggang, kaki diangkat, rotannya dipikul. Ujung - alat untuk sampyong dipanggul dibahu, kaki diangkat, GOLENG adalah pertanda akan dimulainya sampyong, GARET adalah sebutan wasit sampyong, dengan cara digariskan ke tanah sebagai tanda mulai, berkacak-pinggang wujud ksatria menantang lawannya).
Sampyong sendiri berasal dari bahasa China, SAM artinya tiga, dan PYONG adalah pukulan. Tradisi ini yang awalnya digunakan untuk menyeleksi para prajurit, kemudian terus berevolusi menemukan jatidirinya sesuai zaman yang terus berkembang. Sehingga akhirnya hanya jadi sekedar hiburan pelengkap pada tradisi Unjungan.
Permainan Sampyong menggunakan alat berupa sebilah rotan yang berukuran kira-kira 60-70 cm (ujung). Alat tersebut digunakan untuk memukul lawan. Permainan ini harus dilakukan di tengah lapangan dan para penonton berdiri mengelilingi pemain yang sedang berlomba saling mengalahkan.
Selain alat tersebut, permainan ini menggunakan musik gamelan (gong, kenong, dan kendang) dan beberapa wasit (garet). Setelah pemain yang akan berhadapan sudah siap, maka keduanya masuk arena dipandu oleh seorang wasit. Dengan diiringi musik gamelan keduanya saling memukul, namun bagian yang dipukul harus bagian lutut ke bawah, yang melanggar dinyatakan kalah. Permainan diakhiri jika salah seorang pemain (jawara) sudah dapat memukul lawannya tiga kali. Sampyong biasanya diselenggarakan berbarengan dengan Unjungan. Waktunya adalah sore hari.
Seni Sampyong ini dulu sering dipertunjukan ketika musim panen usai. Di beberapa daerah di Indramayu seperti Tugu, Gabuswetan, Terisi, Cikedung dan daerah lain sering diadakan acara Sampyongan ini. Pesertanya datang tidak hanya dari desa setempat tetapi dari daerah lain untuk menguji kekuatan.
Walaupun pemain yang terkena sabetan rotan akan memar dan berwarna biru namun pemain Sampyong ini akan dianggap sebagai jawara karena dianggap memiliki nyali yang besar. Jika Anda takut dengan rasa sakit terkena sabetan hingga merah bahkan lebam kebiru-biruan maka sepertinya permainan ini tidak cocok dengan Anda.
Sampyong selain menjadi seni khas Indramayu (wilayah utara), juga terdapat di beberapa daerah perbatasan Indramayu, seperti wilayah timur yaitu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan, wilayah selatan yaitu Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya, serta wilayah barat di Kabupaten Sumedang.