Tiga Hal Penting Untuk Mensukseskan Vaksinasi COVID-19
Ariel NOAH ditemani Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Wakil Walikota Bandung Yana Mulyana saat pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di RSKIA Kota Bandung, Kamis 14 Januari 2021.* /Humas Jabar |
Untuk membantu menyukseskan program vaksinasi, maka sudut pandang dari ilmu ekonomi perilaku bisa digunakan.
Ekonomi perilaku (behavioral economics) adalah cabang studi ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana efek faktor psikologis mempengaruhi dan menjelaskan pengambilan keputusan ekonomi.
Masih banyak yang meragukan vaksinasi
Kendati ada banyak orang yang bersedia untuk divaksin, tidak sedikit pula jumlah orang yang masih ragu ingin divaksin atau tidak.
Menurut sebuah survei daring yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada September tahun lalu yang menyasar 115.000 responden dari 34 provinsi, hanya sekitar 65% responden yang menyatakan bersedia menerima vaksin COVID-19 jika disediakan pemerintah.
Sedangkan 8% di antaranya menolak dan 27% sisanya menyatakan ragu dengan rencana pemerintah untuk mendistribusikan vaksin COVID-19. Dari yang menolak vaksin, alasan paling banyak adalah karena tidak yakin keamanannya (30%), tidak yakin efektif (22%), dan tidak percaya vaksin (13%).
Tiga hal yang harus diperhatikan
Berdasarkan temuan-temuan dari penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, ilmu ekonomi perilaku mengumpulkan wawasan-wawasan ilmiah yang bisa diaplikasikan oleh pemerintah untuk mendorong penerimaan program vaksinasi di masyarakat.
1. Informasi yang transparan
Pemberian informasi yang transparan terkait vaksin yang akan diberikan sangat penting.
Mulai dari efikasi atau efektivitas, hasil percobaan klinis, hingga hasil penggunaan vaksin tersebut di negara lain.
Semua ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang akan menjadi pihak yang menyelenggarakan program vaksinasi tersebut.
2. Bukti sosial
Hal berikut yang tidak kalah pentingnya adalah bukti sosial atau “social proof”.
Manusia sebagai makhluk sosial cenderung menilik perilaku orang-orang di sekitarnya, terutama handai taulan, untuk mempelajari bagaimana mereka harus bertindak.
Dampak negatif perilaku ini contohnya pada tahun 2019, seorang ibu urung memberikan vaksinasi untuk anaknya karena tetangganya menyebut vaksin itu haram.
Oleh karenanya, dalam strategi komunikasi terkait program vaksinasi ini, alangkah baiknya apabila pemerintah bisa menonjolkan besarnya dukungan masyarakat terhadap program vaksinasi dan bagaimana vaksinasi adalah suatu hal yang ‘populer’ dan ‘keren’ untuk dilakukan.
Selain itu, untuk mendorong masyarakat agar mau divaksin dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap program vaksinasi, figur-figur yang memiliki otoritas mulai dari pejabat daerah, pejabat pemerintah pusat, hingga pemuka agama, maupun selebritas sebaiknya juga divaksin dan mengumumkan bahwa mereka telah divaksin.
3. Menangkal misinformasi
Misinformasi atau informasi yang salah harus dikelola dengan baik.
Berbagai macam informasi yang salah terkait kasus COVID-19, penanganan, vaksin, maupun obat-obatan beredar secara masif di berbagai platform digital terutama WhatsApp.
Hingga Juni 2020 setidaknya ada 850 kabar bohong atau hoaks terkait COVID-19.
Ke depan, kemungkinan besar akan ada lebih banyak lagi misinformasi terkait program vaksinasi. Mulai dari bahan-bahan yang ada di dalamnya, status halal maupun haram, efek samping, dan sebagainya yang bisa jadi membuat orang tidak mau divaksin.
Pemerintah dan pihak-pihak yang terkait seperti influncer, blogger dan media elektronik harus bisa menangkal misinformasi ini dengan menyediakan platform berita, informasi, dan komunikasi yang bisa diandalkan.
Sumber: The Conversation