Sejarah Perpajakan di Indonesia Dari Era Kerajaan, Kolonial Hingga Era Reformasi
Tahukah Anda kalau tanggal 14 Juli telah ditetapkan sebagai Hari Pajak sejak 22 Desember 2017 melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017?
Tanggal itu mengingatkan kembali pada sejarah masa lalu tepatnya pada 14 Juli 1945, dengan kondisi yang sungguh demokratis, kata pajak muncul dalam Rancangan UUD Kedua pada Bab VII Hal Keuangan tepatnya pada Pasal 23 butir kedua: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Pajak telah mendapatkan perhatian khusus sejak itu sebagai bentuk nilai nasionalisme pada negara. Peran krusial pajak bagi Indonesia tidak akan termakbul tanpa adanya kesadaran wajib pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan benar.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang berperan mengumpulkan pendapatan negara melalui pajak memperingati Hari Pajak sejak tahun 2018 sembari mengusung semangat gotong royong membiayai pembangunan dan memiliki harapan besar pada perubahan yang lebih baik. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak harus berkomitmen menjalankan reformasi perpajakan untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak.
Fungsi pajak
Ada dua fungsi pajak dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan. Pertama, pajak memiliki fungsi anggaran (budgetair). Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, baik untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara maupun melaksanakan pembangunan. Pembiayaan rutin antara lain untuk belanja pegawai, belanja barang, atau pemeliharaan.
Selain itu, di dalam fungsi anggaran, terdapat pula fungsi demokrasi, dimana pajak merupakan salah satu penjelmaan dari sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan rakyat yang sadar akan baktinya kepada negara.
Kedua adalah fungsi mengatur (regulerend). Pemerintah dapat mengatur kebijakan di bidang ekonomi dan sosial melalui kebijakan fiskal. Dalam menjalankan fungsi mengatur, pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.
Contohnya, dalam rangka mendorong penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Menurut pendapat Musgrave dan Musgrave Fiscal Function/Regulerend memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Caranya bisa dengan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
Terkait fungsi retribusi, pendapatan pajak yang sudah dipungut digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum. Termasuk untuk membiayai pembangunan sehingga bisa membukan kesempatan kerja.
{nextPage}
Sejarah pajak dari era kerajaan hingga masa kolonial
Dalam buku Materi Terbuka Kesadaran Pajak untuk Perguruan Tinggi yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak, sejarah pajak di Indonesia bisa dibagi dalam lima periode, yaitu era kerajaan, era kolonial, era kemerdekaan, era Orde Baru, dan masa Reformasi.
Pada era kerajaan, ada dua bentuk kesatuan politik dari kerajaan yang terdapat di Indonesia, yaitu kerajaan agraris dan kerajaan maritim. Kerajaan agraris, seperti Mataram Kuno (abad IX–XII), Kediri (abad XI), Majapahit (abad XII–XIV), Pajang (abad XV), Mataram Islam (abad XV–XVII). Kerajaan agraris memiliki pusat kerajaan yang ditentukan berdasarkan kondisi perekonomian agraris.
Dalam tradisi kerajaan agraris, terdapat kewajiban membayar pajak dan kewajiban bekerja. Selain pajak langsung dan kerja rodi, raja pada kerajaan agraris memiliki tanah-tanah yang digarap oleh para petani yang secara langsung membayar upeti (pajak-tanah) kepada raja. Pemungut pajak pada masa itu dikenal sebagai Bekel dan Demang.
Berbeda dengan kerajaan agraris, kerajaan maritim memiliki dasar perekonomian perdagangan dan perkapalan. Pada kerajaan maritim, rakyat tidak dikenakan pajak, baik dalam bentuk uang dan barang, maupun dalam bentuk kewajiban bekerja. Di kerajaan maritim, raja atau negara memang tidak mengandalkan dana dari rakyat melainkan dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan atau dari pajak atas kapal yang melakukan perdagangan yang melintasi wilayah kekuasaan kerajaan tersebut.
Pada masa Kolonial, sejak dibentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai badan perdagangan, jenis pajak mulai diperluas. VOC tidak memungut pajak pada penduduk, kecuali di kota-kota atau di daerah yang dikuasainya secara langsung, seperti Batavia, Maluku, dan lain-lain. Di tempat yang dikuasai VOC tersebut, para penduduk China, Barat, dan pedagang dari golongan lain dikenakan pajak. Selain itu, untuk penduduk kota, dikenakan pajak usaha, pajak pintu (rumah), pajak kepala, dan lain-lain.
Sejak masuknya pemerintahan kolonial Inggris pada periode 1811–1816, sistem perpajakan mulai dirancang. Sir Thomas Stanford Raffles adalah penguasa bangsa Eropa pertama yang merancang sistem perpajakan.
Sistem perpajakan yang dirancang oleh Raffles dikenal dengan nama pajak tanah (landrent). Pada masa Raffles, diterapkan pungutan pajak tanah yang dibebankan kepada desa dan bukan kepada perseorangan. Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan barang.
Setelah kolonial Inggris berakhir dan digantikan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sistem pajak tanah masih terus dilaksanakan. Namun, terdapat perbedaan antara sistem pemungutan pajak tanah oleh pemerintah kolonial Inggris dan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial Belanda memberikan kedudukan para bupati sebagai pemungut pajak yang bertanggung jawab terhadap pungutan atas pajak tanah kepada rakyat.
{nextPage}
Sejarah pajak dari awal kemerdekaan hingga era Orde Lama
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, para pendiri Republik Indonesia menuangkan masalah pajak ke dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pasal 23 yang memuat lima butir ketentuan, butir kedua menyatakan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”.
Dengan demikian, pajak sebagai “nyawa” negara telah secara resmi diatur oleh UUD 1945. Dua hari kemudian tepatnya pada 19 Agustus 1945, organisasi Kementerian Keuangan langsung dibentuk dan di dalamnya antara lain terdapat Pejabatan Pajak.
Susunan organisasi itu disusun dalam keadaan mendesak, karena tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali dan ingin berkuasa di Indonesia dengan membentuk Netherlands Indie Civil Administration (NICA).
Pada 1946 ketika Belanda melancarkan Agresi Militer pertama, Kementerian Keuangan, termasuk Pejabatan Pajak harus mengikuti Presiden Soekarno dan seluruh jajaran Kabinet hijrah ke Yogyakarta dan sekitarnya. Pejabatan Pajak berkantor pusat di Magelang.
Memasuki era pemerintah Orde Lama di bawah pemerintahan Presiden Soekarno (1950–1966), kebijakan pemerintah tentang pajak belum banyak dilakukan. Hal ini terjadi karena kondisi pemerintahan yang belum stabil.
Sistem dan mekanisme pungutan pajak pada waktu itu lebih banyak dipengaruhi dan mengikuti warisan sistem pemungutan pajak pada era penjajahan Belanda. Berbagai pungutan dan iuran pajak yang berlangsung pada masa pemerintahan Orde Lama merupakan peninggalan dari penjajahan Belanda.
Pada masa pasca revolusi kemerdekaan, Indonesia sedang dalam keadaan sulit dan perekonomian belum stabil sebagai akibat dari perang dan politik yang tidak menentu. Pada tahun 1951, Pemerintah membentuk Panitia Peninjauan Pajak yang bertugas untuk mempelajari banyaknya jenis pajak yang ditangani oleh Jawatan Pajak.
Panitia Peninjau Pajak dibagi menjadi empat subpanitia, yaitu Panitia Indirekte Belasting, Panitia Direkte Belasting, Panitia Pajak Umum, dan Panitia Pajak Daerah. Selanjutnya, pada awal tahun 1965, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1965 yang berisi pengampunan pajak.
Sumber tertulis terkait dengan isu pajak dan kebijakan perpajakan pada awal kemerdekaan Indonesia belum banyak ditemukan. Namun, terdapat beberapa sumber hukum tertulis berkaitan dengan pajak, antara lain UU Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951; UU 74/1958 tentang Pajak Bangsa Asing; UU 21/1959 tentang Pajak Deviden yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti; serta UU 19/1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
{nextPage}
Sejarah pajak dari era Orde Baru hingga Reformasi
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Lama pada tahun 1966 yang ditandai dengan pergantian kepemimpinan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, 17 tahun kemudian, pemerintahan Soeharto mencoba untuk melakukan reformasi terhadap undang-undang atau peraturan tentang perpajakan yang berlaku pada masa Orde Lama.
Perubahan yang terjadi pada sistem perpajakan di Indonesia dapat dilacak dari struktur kelembagaan perpajakan yang mengalami banyak perubahan yang disebabkan oleh dinamika politik dan ekonomi yang berkembang pada masa itu.
Melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Republik Indonesia pada tanggal 3 November 1966, Presiden Soeharto membuat susunan ulang organisasi pajak. Susunan organisasi Direktorat Jenderal Pajak terdiri atas Direktur Jenderal, Sekretaris Direktorat Jenderal, Direktorat Pajak Langsung, Direktorat Pajak Tidak Langsung, Direktorat Perencanaan dan Pengusutan serta Direktorat Pembinaan Wilayah. Pada tahun 1967 dilakukan penambahan Direktorat Perundang-undangan.
Pada masa Orde Baru, terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan undang-undang pajak yang dilakukan. Awalnya pemerintah mengeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Perseroan 1925. Undang-undang ini berlaku selama 13 tahun, yaitu sampai dengan 31 Desember 1983 ketika reformasi pajak digulirkan.
Selanjutnya terbit Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1976 yang menetapkan Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Peralihan ini mengubah mekanisme birokrasi pajak yang semula bidang moneter ke dalam bidang perpajakan.
Pada 1983, pemerintah melaksanakan reformasi pajak melalui Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) dengan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), PPN dan PPnBM, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Meterai (BM).
Sejak 1984 Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, yaitu self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Pada tahun 1994, Pemerintahan Orde Baru melakukan perubahan lagi atas Undang-Undang Perpajakan, yaitu UU 9/1994, UU 10/1994, UU 11/1994, dan UU 12/1994.
{nextPage}
Kemudian pada akhir pemerintahan Orde Baru tahun 1997, pemerintah membuat beberapa UU yang berkaitan dengan masalah perpajakan. Undang-undang itu, antara lain, UU 17/1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak; UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; UU 19/1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; UU 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan UU 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru melalui gerakan Reformasi 1998/1999, terjadi berbagai perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Indonesia. Pada masa pemerintahan transisi dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie, kebijakan terkait perpajakan belum banyak berubah.
Kebijakan perpajakan baru mulai berubah pada tahun 2000. Pada tahun itu, terdapat lima peraturan perundang-undangan perpajakan yang diubah dan satu peraturan pemerintah (PP). Kelima UU itu adalah UU 16/2000, UU 17/2000, UU 18/2000, UU 20/2000 dan UU 34/2000. Adapun satu PP adalah PP 24/2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Pada tahun 2002, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak.
Pada tahun 2003, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan 45 kebijakan pengurangan pajak penghasilan dan barang mewah. Memasuki awal 2005 Direktorat Jenderal Pajak juga menyiapkan empat fasilitas untuk memberi insentif kepada dunia usaha.
Pada tahun 2004, era otonomi daerah mulai digulirkan melalui UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Pergeseran paradigma tentang perpajakan semakin tampak dengan lahirnya sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik. Dampak perubahan dari perubahan sistem pemerintahan tersebut adalah munculnya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang diberlakukan baik di pusat maupun daerah.
Sementara itu, dengan terbitnya UU 34/2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berkembang pula pajak dan pungutan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam peraturan tersebut, muncul istilah pajak daerah dan retribusi daerah.
Dengan berlakunya UU tersebut, daerah memiliki kewenangan untuk menentukan besarnya tarif dan iuran yang ditetapkan bagi Wajib Pajak. Setiap daerah dapat membuat ukuran dan ketetapan terkait besarnya tarif dan iuran bagi wajib pajak yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah daerah setempat. Saat ini, berbagai daerah berlomba-lomba untuk membuat peraturan terkait pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerahnya.
Pajak Kuat, Indonesia Maju.
Referensi:
https://pajak.go.id/
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/hari-pajak-sejarah-dan-tantangan-perpajakan-di-indonesia